Jl. Kelapa Hijau - Bukit Indah Sukajadi - Batam 29642
SEARCH:

                 
  SVD Batam SOVERDIA (Awam SVD) Pelayanan Kitab Suci Pelayananan Internasional Liturgi dan Devosi Tirta Wacana  
 
 OPINI
"Aku sepenuhnya menyerahkan diriku kepada kehendak Tuhan dan membiarkan Ia mewujudkan keinginanNya atas diriku. Jika Ia mengijinkan sesuatu yang lebih berat menimpa diriku, aku masih tetap siap sedia dan menerima semuanya dari tanganNya "
(Arnoldus Janssen)

"Tugas kita yang paling utama ialah mewartakan Sabda. ... Pewartaan kita haruslah demikian rupa, sehingga ia memancarkan keagungan Kabar Gembira, dan dengan demikian orang dapat mengakui amanat Allah dalam kata-kata kita" (Konstitusi SVD 107)


Rekoleksi Vikariat Utara Keuskupan Pangkalpinang:
Tiada Hari Tanpa SANG SABDA

 
 
by Aurelius Pati Soge*)
halaman 1 dari 3
 

Imamat dan tantangan gaya hidup modern

Transparansi komunikasi modern telah menempatkan kehidupan para imam dalam sorotan, karena praktis tak ada sesuatu yang dapat disembunyikan dari khalayak ramai. Perilaku pribadi dan pastoral ramai didiskusikan di jejaring media sosial. Sudut pandang dan kadar penilaian tidak bergantung hanya pada satu orang, tetapi pada banyak orang dengan segala keragamannya. Yang menjadi sorotan utama seringkali berkaitan dengan kegagalan para imam menunjukkan konsistensinya di dalam menghayati nilai-nilai Injil, dan kreativitas pewartaan yang menyentuh kebutuhan umat. Penghayatan nilai Injil (miskin, murni, taat) didefinisikan sebagai jati diri para imam, sedangkan pola pastoral adalah wujud pengungkapannya. Keduanya tak dapat dipisahkan satu dari yang lain.

Kendatipun mengalami transformasi bentuk, identitas imamat tidaklah berubah. Esensi penghayatan nilai-nilai Injil juga tetap sama. Setiap imam tetap dituntut untuk hidup miskin, murni dan taat. Kreativitas pewartaan malah semakin ditekankan, karena pluralitas masyarakat semakin meluas dan kebutuhan pun makin bervariasi. Masyarakat luas tidak menuntut pola hidup yang radikal, tetapi ada indikasi peresapan nilai-nilai tersebut ke dalam hidup para imam. Dalam menghayati nilai-nilai Injil, para imam tidak dituntut hidup melarat, anti seksualitas atau taat laksana hamba, tetapi yang paling dituntut adalah independensi pribadi terhadap semua hal yang bisa membuat para imam mengingkari nilai-nial tersebut. Imam yang memahami nilai-nilai materi untuk menunjang pastoral tetapi tidak materialistis. Imam yang mengerti semua aspek seksualitas tetapi tidak sex-oriented. Imam yang taat terhadap ketentuan gereja sambil tetap membangun pemahamanan yang tepat dan tidak membuta. Dalam membangun kreativitas pastoral, kita dituntut untuk menjaga keterikatan (rootedness) pada akar iman, yakni Yesus Kristus, dan berjuang untuk menanggapi kebutuhan dunia (openness). Dua roh dasar ini dimaksudkan untuk menghindari para imam dari situasi tak terkendali, yang pada akhirnya menghancurkan pribadi imam tersebut.

   
 

Pemberdayaan diri dalam on-going formation

Kita sudah dibentuk dalam periode formasi sesuai dengan standard Gereja bagaimana menjadi imam. Kita dibekali dengan pengetahuan intelektual dan ketrampilan-ketrampilan praktis yang diperlukan untuk menjawabi situasi pastoral lapangan. Namun formasi adalah periode penggemblengan sesuai text-book, belum tentu sejalan dengan situasi lapangan. Keragaman situasi lapangan sering menciptakan keruwetan yang tak dapat ditanggapi dengan text-book. Di sini lah letak pentingnya bina lanjut (on going formation).

Pertama-tama, mari kita mulai dengan meningkatkan kesadaran, bahwa kita dipanggil, dibentuk dan diutus Tuhan untuk satu tujuan, yakni mewartakan Injil. Sebelum naik ke surga, Yesus menyampaikan perintah ini, “Pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman” (Mat 28:19-20). Tugas ini diberikan kepada semua orang beriman. Para imam mengambil peranan khusus berkat panggilannya, lalu mempersembahkan diri sepenuhnya pada pewartaan Injil. Meminjam bahasa fisika, pewartaan Injil itu adalah nucleus (inti atom), sementara semua hal lain adalah electron yang berputar mengitari nucleus tadi. Daya hidup dan karya ada di tangan Yesus sebagai inti, namun diimplementasi dalam berbagai wujud yang tergantung pada kreativitas para imam tersebut.

Mengingat “Yesus Kristus tetap sama, baik kemarin maupun hari ini dan sampai selama-lamanya” (Ibr 13:8), tak ada perubahan esensial dalam inti pewartaan. Kitak tak pernah mengajarkan, bahwa Yesus itu tidak mati di salib; tak pernah juga kita mengatakan, bahwa Yesus tak pernah bangkit. Walaupun demikian, sejarah membuktikan, bahwa banyak orang menyimpang dari ajaran iman dan dengan sadar menampilkan gambaran Yesus yang berbeda, dari pada yang ada di dalam Injil. Pengajaran sesat itu bisa terjadi secara terencana, bisa juga karena ketidaktahuan. Karena itu, dalam proses on-going formation, kita perlu terus meningkatkan kualitas diri. Sebagai sebuah saran, untuk refleksi ini kami ajukan tiga bidang yang perlu kita dalami, dengan harapan setiap orang akan mengembangkannya dalam hidupnya sendiri di masa depan, yakni (1) pengetahuan intelektual, (2) kerohanian populer, dan (3) pengalaman mistik.

  • Pengetahuan intelektual.
    Pendalaman tema-tema teologi, baik secara pribadi maupun dalam kelompok, bisa digalang melalui studi mandiri, seminar-seminar, dan berbagai forum diskusi dan dialog lainnya. Formasi dasar di Seminari Tinggi sudah memberi kerangka berpikir filosofis, yang sangat membantu kita menganalisis dan memahami tema-tema abstrak, baik tentang Kitab Suci maupun topik-topik teologi lainnya. Pada sisi lain, pengetahuan dalam bidang ilmu-ilmu empiris lain seperti ekonomi, politik, antropologi dan sosiologi akan sangat menolong kita menghubungkan pesan-pesan Injil dengan fenomena-fenomena sosial. Dengan pengetahuan-pengetahuan tersebut, kita bisa merancang dan mendorong umat untuk membaca Kitab Suci dari perspektip perubahan sosial, perbedaan kelas, keragaman sosial, dan sebagainya.
  • Kerohanian populer.
    Seorang imam bertugas menjadi pengajar umat. Ia berperanan menjadi pembimbing rohani umat, baik secara pribadi maupun secara komunal. Karena itu, walaupun secara pribadi mungkin ia tidak menyukai gerakan-gerakan kerohanian tertentu, imam wajib mendalami agar bisa memahami esensi gerakan-gerakan tersebut, pengungkapannya dan manfaat atau mudaratnya bagi karya pastoral. Seorang imam yang tidak suka gerakan karismatik, misalnya, tetap harus mempelajari gerakan itu, bahkan kalau perlu turut serta pada bagian-bagian yang menurut dia bisa menyentuh nalar, emosi dan kebutuhannya. Ada banyak gerakan kerohanian populer yang luas berkembang di tengah masyarakat, yang banyak mempengaruhi komunitas umat beriman pada skala luas. Kita tak dapat menutup mata dan membiarkannya berjalan sendiri, hanya dengan dalih gerakan itu tidak cocok dengan perasaan kita.
  • Pengalaman mistik.
    Berbicara tentang pengalaman mistik, barangkali kita langsung berpikir tentang St. Yohanes dari Salib, St. Katarina dari Siena, St. Fransiskus dari Asisi, atau St. Padre Pio. Semua mereka mendapat karunia khusus pengalaman mistik, yang kemudian diungkapkan dalam tulisan-tulisan yang sangat memperkaya khazanah rohaniah Gereja Kudus. Mungkin kita tidak menggapai karunia sebesar itu. Akan tetapi, keseharian hidup rohaniah kita perlu dibangun untuk bergerak menuju bangunan pengalaman iman yang mistik, di mana kita mengalami kehadiran Tuhan secara personal, tidak melekat pada pola-pola paten, namun sangat mengesankan dan membawa pengaruh yang besar. Pengalaman mistik ini tidak mengikuti paten tradisional tetapi melampaui konsep-konsep yang biasa dirumuskan oleh manusia. Secara sederhana, karunia pengalaman mistik yang dimaksudkan di sini adalah gerak kerohanian biasa, yang dipupuk melalui proses latihan rohani yang teratur dan berkelanjutan, hingga akhirnya mencapai tahapan, di mana pribadi yang bersangkutan mengalami buah-buah nyata dari kehadiran Tuhan. Kita mulai dengan doa, refleksi, meditasi, devosi dan sebagainya, untuk masuk ke batasan mistik. Ketika orang masuk ke dalam pengalaman itu, kata-kata, konsep, definisi dan uraian menjadi tidak penting, karena sesungguhnya tak ada bahasa yang bisa mengungkapkannya. Walaupun demikian, pengalaman itu tak bisa disebut sebagai sebuah ilusi karena wujud konkritnya begitu nyata dan membawa pengaruh, baik bagi personalitas sang imam maupun bagi karya pelayanannya. Pada tahapan ini kita tidak lagi berada pada level narasi dan literasi, tetapi pada sentuhan persona Ilahi, langsung ke dalam inti batin kita sendiri. Pengalaman mistik adalah stadium rohani yang paling tinggi yang bisa dicapai oleh manusia. ... SELANJUTNYA
 

*) Dibawakan pada Rekoleksi para imam se-Vikariat Utara Keuskupan Pangkalpinang, di Batam, 5 September 2017

PAGE 1, 2, 3
 
 
 
 

LIHAT ARTIKEL LAIN

 


 
All stories by TIRTA WACANA Team except where otherwise noted. All rights reserved. | design: (c) aurelius pati soge