Jl. Kelapa Hijau - Bukit Indah Sukajadi - Batam 29642
SEARCH:

                 
  SVD Batam SOVERDIA (Awam SVD) Pelayanan Kitab Suci Pelayananan Internasional Liturgi dan Devosi Tirta Wacana  
 
 OPINI
"Aku sepenuhnya menyerahkan diriku kepada kehendak Tuhan dan membiarkan Ia mewujudkan keinginanNya atas diriku. Jika Ia mengijinkan sesuatu yang lebih berat menimpa diriku, aku masih tetap siap sedia dan menerima semuanya dari tanganNya "
(Arnoldus Janssen)

"Tugas kita yang paling utama ialah mewartakan Sabda. ... Pewartaan kita haruslah demikian rupa, sehingga ia memancarkan keagungan Kabar Gembira, dan dengan demikian orang dapat mengakui amanat Allah dalam kata-kata kita" (Konstitusi SVD 107)


Rekoleksi Vikariat Utara Keuskupan Pangkalpinang:
Tiada Hari Tanpa SANG SABDA

 
 
by Aurelius Pati Soge*)
halaman 1 dari 3
 

Refleksi dan meditasi: membuka pintu ke kekayaan rohaniah

Mari kita mengambil sebuah ilutrasi Kitab Suci untuk membahasakan kerinduan kita pada kualitas iman yang tinggi, yang menghantar kita kepada persekutuan dengan Tuhan. Berbicara tentang Kerajaan Allah, Yesus menyampaikan perumpamaan sebagai berikut,

"Hal Kerajaan Sorga itu seumpama harta yang terpendam di ladang, yang ditemukan orang, lalu dipendamkannya lagi. Oleh sebab sukacitanya pergilah ia menjual seluruh miliknya lalu membeli ladang itu. Demikian pula hal Kerajaan Sorga itu seumpama seorang pedagang yang mencari mutiara yang indah. Setelah ditemukannya mutiara yang sangat berharga, ia pun pergi menjual seluruh miliknya lalu membeli mutiara itu" (Mat 13:44-46).

Intonasi dasar perumpamaan ini ialah betapa berharganya Kerajaan Allah, diumpamakan sebagai harta karun atau mutiara yang berharga. Ketika orang menemukannya, semua yang lain yang selama ini dianggap penting menjadi tidak lagi penting. Karena itu, ia berani menjual segala sesuatu agar dapat membeli tanah berharta karun tersebut, atau mutiara yang indah itu. Di sini kita menemukan sebuah proses beralih dari nilai-nilai yang dihayati menuju nilai baru, di mana nilai baru melengkapi nilai lama, sehingga pribadi tersebut semakin mendekati kesempurnaan nilai hidup.

Mengaplikasikannya dengan kehidupan para imam, pesan yang mau disampaikan ialah, bahwa sebagai iman, nilai perutusan itu haruslah menjadi sebuah “mutiara indah” yang membuat semua nilai lain diukur menurut mutiara tersebut. Sebagai imam, kita mewartakan Sabda Tuhan dan merayakan Sakramen-sakramen-Nya. Hak khusus ini kita peroleh karena rahmat imamat jabatan yang kita peroleh melalui tahbisan suci. Oleh pelayanan itu, banyak umat Allah menemukan mutiara-mutiara berharga, atau harta-harta karun yang terpendam, yang selama ini tidak mereka sadari. Namun pertanyaan mendasar yang hendak diangkat ialah, apakah oleh peranannya tersebut, si imam sendiri mengalami konversi nilai, dari dunia menuju surga, dari jasmani menuju rohaniah? Ataukah si imam hanya sekedar menjalankan kewajiban, menghantar orang lain untuk menemukan Kerajaan Allah, sementara ia sendiri mundur dan sibuk mencari dan menikmati nilai-nilai duniawi yang dengan seharusnya ia nomorduakan?

   
Pada titik ini seorang imam harus membuat keputusan: SIAPA AKU dan APA YANG AKU CARI. Jawaban atas pertanyaan ini menuntut korban diri yang besar, kerendahan hati dan pertobatan yang serius. Satu langkah awal ialah menjadikan Firman Tuhan sebagai pusat hidup. Bacalah Kitab Suci bukan hanya untuk mempersiapkan kotbah atau waktu doa Ibadat Harian, tetapi sebagai bagian dari irama hidup sehari-hari. Setiap ayat firman yang dibaca adalah sebuah pertemuan dengan Tuhan, walaupun mungkin pada tahap awal. Ketika membaca dan merenungkan Firman Tuhan itu sudah menjadi kebutuhan, pertemuan dengan Tuhan menjadi lebih intensip dan membuka lebar pintu revelasi lanjut yang bersifat personal: menyentuh nalar, berpotensi mistik.

Saya memakai paradigma “Tiada Hari Tanpa Sang Sabda” untuk membahasakan perjuangan pribadi ini. Ketika memutuskan untuk menerbitkan “Berjalan Bersama Sang Sabda: Refleksi Harian Kitab Suci” di tahun 2002, keinginan utama ialah agar Firman Tuhan dikenal, dibaca, dicintai oleh sebanyak mungkin orang. Dalam skala tertentu, rencana itu memberi hasil dan menumbuhkan banyak harapan. Akan tetapi, pendekatannya masih rasional dan mengandalkan sumber-sumber empiris, sehingga sangat berwarna spekulatip, sistematis, tetapi tidak membumi dan tidak menyentuh aspek-aspek konkrit hidup manusia. Setelah sekian tahun berjalan, masa-masa menulis refleksi itu ternyata telah menjadi masa memperkaya khazanah rohani pribadi. Tiada hari tanpa Sang Sabda itu membuahkan proses internalisasi yang berkelanjutan, sehingga Sabda Tuhan itu justru mengubah diriku sendiri.

Di akhir refleksi ini, saya ingin menggarisbawahi satu dua catatan yang saya yakini dan hayati. Pertama, kelekatan dengan Kristus tak dapat kita capai tanpa penghayatan Sabda dan Sakramen. Dari sisi sakramen, sebagai imam kita mendapat privilese untuk merayakannya. Namun, apakah sakramen itu juga membaharui diri kita? Dari sisi sabda, kita bertindak sebagai pengajar umat, membimbing mereka untuk bertumbuh dewasa dalam kerohanian. Apakah pengajaran kita itu hanya datang dari kemampuan intelektual, atau juga mengalir dari kekayaan rohaniah yang bersumber dari relasi personal (mistik) dengan Tuhan? Saatnya untuk menggelorakan, tidak hanya on-going formation tetapi juga on-going convesion.

 

*) Dibawakan pada Rekoleksi para imam se-Vikariat Utara Keuskupan Pangkalpinang, di Batam, 5 September 2017

PAGE 1, 2, 3
 
 
 
 

LIHAT ARTIKEL LAIN

 


 
All stories by TIRTA WACANA Team except where otherwise noted. All rights reserved. | design: (c) aurelius pati soge